Gagasan Hari Ini.......

Ribut-ribut masalah statemen Mendagri soal empat kabupaten kota di Riau terancam dibubarkan dan dua kabupaten dinilai pembangkang. Saat bersamaan, ada lagi nada nyaring dari pusat soal, revisi Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999. Sebuah isyarat nyata, bahwa pusat mulai berupaya untuk mengembalikan era, yaitu kembali ke era Orde Baru. Bukankah, buah manis reformasi itu adalah dua hal itu, yaitu otonomi daerah dan kebebasan pers? Jika ini kita biarkan, sangat besar harga yang harus dibayar. Energi, modal dan yang paling utama adalah masa, atau era. Sanggupkan kita menghadapi ini?

Friday, June 6, 2008

Sikapi BBM, Mari Berbagi Peran

Seperti diberitakan media massa seluruh nusantara, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak bisa dielakkan lagi. Dengan kenaikan harga BBM dunia sudah melebih 120 dolar AS per barel, Angaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tidak bisa menanggung biaya subsidi yang sudah hampir mencapai Rp350 triliun.

Tentu, secara pasti kondisi ini berimbas kepada negara dan bangsa ini, meskipun sebagian dari masyarakat tidak mengerti persoalan secara khusus, mengapa akhirnya pemerintah tidak bisa mengelak lagi untuk menaikkan harga BBM dalam negeri.

Jelas, dalam teori ekonomi, kenaikan harga BBM, akan memberikan efek domino pada sektor lainnya dalam kehidupan di masyarakat secara luas. Makanya, tidak salah, jika rencana kenaikan harga BBM yang akan diberlakukan pemerintah paling lambat Juni 2008 ini, bisa dianalogikan sebagai sebuah ''bencana'' yang akan datang melanda masyarakat di negara ini. Sebagai manusia, tentu kita sudah mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

''Persoalan sekarang bukan lagi menaikkan atau tidak menaikkan harga BBM, perdebatan itu sudah selesai. Sekarang kalau naik, naik barapa, komoditas apa, berapa persen masing-masingnya. Kemudian instrumen yang menyertai itu apa saja,'' kata Presiden SBY di hadapan tokoh media dan pers se-Indonesia di Jakarta.

Artinya, sinyal dampak yang akan diterima masyarakat terhadap kenaikkan harga BBM itu sudah akan pasti adanya. Lalu apa yang tindakan dan sikap kita sebagai individu yang hidup di negeri ini?

Jawabnya, mari kita berbagi peran menyikapi kebijakan yang akan diambil pemerintah itu. Tentu, dalam tatanan komunitas dan kelompok masyarakat yang termasuk dalan struktur bangsa dan negeri ini memiliki peran masing-masing.

Pertama, bagi pemerintah, tentu sudah menghitung berapa kenaikan harga yang pantas sehingga masyarakat tidak menderita. Selain itu, program kompensasi kenaikan harga BBM bagi masyarakat kecil yang tidak berdaya harus disiapkan mulai dari perencanaan hingga penerapan di lapangan.

Selain itu, perangkat untuk meredam efek domino dari kenaikan harga BBM harus sudah disiapkan, misalnya saja antisipasi kenaikan harga keperluan pokok dan ongkos transportasi umum.

Kedua, bagi Pertamina tentu sudah mempersiapkan diri untuk lebih aktif dalam hal penyediaan, distribusi yang tepat waktu dan sasaran, sehingga tidak memberikan pengaruh bagi masyarakat, terutama pada awal-awal kebijakan kenaikan harga itu diberlakukan.

Ketiga, bagi pihak kepolisian, tentu juga sudah mempersiapkan diri. Sudah sering terjadi, kenaikan harga ini dimanfaatkan oleh sebagian orang tertentu untuk menangguk keuntungan, misalnya dengan penumpukan atau menjual ke luar negeri dan di luar ketentuan yang ditetapkan.

Keempat, bagi pedagang BBM, jangan mau dimanfaatkan pihak lain dengan jalan kolusi untuk mendapatkan keuntungan. Jalankanlah bisnis sesuai dengan aturan kontrak dengan pihak Pertamina.

Kelima, bagi pedagang jangan ikut-ikutan pula mencari keuntungan dengan mamanfaatkan situasi. Jika Anda terpaksa juga menaikkan harga barang, ambillah untung sewajarnya. Tidak menambah persoalan dan beban bagi masyarakat. Keenam, bagi Anda tidak termasuk dalam kategori di atas alias rakyat biasa, tentu juga harus berperan sama. Salah satu caranya
adalah, mulailah memegang prinsip hidup berhemat energi danjangan boros. Selain itu, tidak mudah emosional dan terpancing isu menyesatkan dan selalu mendoakan bangsa ini supaya keluar dari krisis ini.

Kata kuncinya, siapa pun Anda yang termasuk dalam kategori yang disebutkan di atas harus berperan. Sangat menyedihkan, jika kita tidak memberikan kontribusi apa-apa, sementara kita tinggal dan hidup di sini mengaku sebagai sebuah bangsa yang berdaulat.***

Wawancara dan Liputan

Manajemen Cabai
‘’Aku lebih takut dengan kenaikan cabai dan beras dari pada bicara kenaikan harga BBM, Son —panggilan untuk teman saya yang bernama Sonhaji yang kini tinggal di Bogor—’’. Belum cukup sehari, dia telah membalasnya.

Ternyata Sonhaji penasaran dengan pernyataan itu.Mungkin dia teringat masa lalu kami di Bogor dulu. Meski setiap kami berkesempatan makan bersama di warteg, lalapan dan sambal tidak pernah dia lupakan.

Tapi saya tegaskan ke dia,’’Son, ini bukan cerita enaknya makan di warteg sebelah kos-kosan kita itu’’.Tapi ‘’sakitnya’’ hati ketika saya dan mungkin sebagian besar ibu-ibu di Kota Bertuah ini, berkeluh-kesah karena harga cabai tiba-tiba bisa naik 300 persen.

Dalam mengupas masalah ini, terpaksa saya harus membandingkan Bogor dan Pekanbaru. Meski lalapan menjadi menu wajib warga Bogor, rasanya saya tidak pernah mendengar harga selada turun naik seperti cabai di Pekanbaru. Sama seperti yang dia tulis di emailnya, bahwa sejak saya meninggalkan kota hujan itu sampai sekarang harga lalapan di Bogor tak pernah turun naik secara drastis.

‘’Setiap hujan, longsor dan jalan Riau-Sumbar putus, harga lada tidak bisa direm. Malambung tinggi. Tidak ada yang bisa mencegahnya. Dan selalu begitu,’’ saya balas emailnya.

Walaupun dia melengkapi argumen prinsip ekonomi pasar yang diingat-ingatnya ketika menerima materi kuliah dari dosen ekonomi di tingkat satu, bahwa sesuatu barang dan apa saja —tentu juga termasuk cabai dan lalapan— akan naik harganya, bila permintaan tinggi.Mungkin ini pengecualian bagi lalap di Bogor. Sebab, bukan hanya dia yang menyukai lalapan, mungkin hampir semua orang Bogor menyukai.

Tapi mengapa harganya tidak pernah naik drastis. Sementara harga cabai di Pekanbaru lain?Sedikit lumayan beras. Ketika harganya naik, masih ada yang peduli —misalnya pemerintah melakukan operasi pasar—, maklum saja, beras bisa menjadi isu politik yang menakutkan.

‘’Aku pernah mendengarkan pernyataan dari Senayan, ada politik beras. Tapi rasanya belum ada yang mengatakan politik cabai. Cabai hanya bikin pedas dan merahkan telinga, Son’’. Begitu saya mencoba menjelaskan agar dia paham betul bahwa masalah cabai sekarang sudah masuk pada tahap serius dan menyedihkan.Ketika terjadi gempa, banjir, asap dan bencana alam lainnya. Sering saya katakan ke dia, bahwa semua bisa diatasi. Paling tidak dengan perasaan dan mendengarkan suara hati kecil: Ini sudah tadir Allah, kita manusia hanya bisa menerimanya.

Tapi apakah ketika cabai naik drastis tak tentu waktu juga wajar berucap; sudah kehendak yang kuasa, kita terima saja?‘’Sebenarnya saya tidak mau mengungkap aib kota tempat kelahiran ku ini kepada mu, Son,’’ begitu saya balas emailnya, agar dia juga tahu bahwa bukan hanya lumpur, gempa, banjir dan kecelakaan kapal dan pesawat saja yang membuat rakyat nusantara ini semakin cemas dan berduka. Tapi, juga urusan cabai itu.Kamu kan tahu —seperti yang saya ceritakan beberapa waktu lalu— bahwa Riau sedang hangat-hangatnya menuntut otonomi khusus.

Lagi-lagi soal keadilan. Sebab, siapa yang menyangkal, apa saja ada di Riau ini. Mulai dari minyak bumi, sawit, karet dan segala kekayaan alam lainnya ada.Pokoknya kalau dikabulkan katanya Riau akan lebih banyak duitnya. Meskipun seperti yang saya ceritakan, sejak otonomi daerah digulirkan, duit Riau ini sudah semakin banyak jika dibandingkan Orba lalu.

‘’Aku ngerti, sekarang Riau tentu lebih kaya dan sejahtera,’’ tulis dia dalam email balasan.Tapi, dia tidak tahu, berapa harga wajar barang keperluan di Riau ini? Meskipun produk jadi berbahan baku minyak sawit yang nyata tumbuh jutaan hektare di sini. Tapi ada lagi yang menyedihkan. Nyatanya kekayaan negeri saya ini tidak bisa dibuat untuk menstabilkan harga beras dan cabai.***