Gagasan Hari Ini.......

Ribut-ribut masalah statemen Mendagri soal empat kabupaten kota di Riau terancam dibubarkan dan dua kabupaten dinilai pembangkang. Saat bersamaan, ada lagi nada nyaring dari pusat soal, revisi Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999. Sebuah isyarat nyata, bahwa pusat mulai berupaya untuk mengembalikan era, yaitu kembali ke era Orde Baru. Bukankah, buah manis reformasi itu adalah dua hal itu, yaitu otonomi daerah dan kebebasan pers? Jika ini kita biarkan, sangat besar harga yang harus dibayar. Energi, modal dan yang paling utama adalah masa, atau era. Sanggupkan kita menghadapi ini?

Wednesday, June 20, 2007

Masa Depan Riau di Laut, Wawancara Menrizal dengan Prof Dr Ir H Tengku Dahril, MSc, Kadiskanlut Riau, Soal Masa Depan Laut Riau

Dipublikasikan di Riau Pos, 18 Mei 2003
Ada harapan, ketika Departemen Kelautan dan Perikanan lahir, masa jaya Riau di laut akan kembali. Namun langkah mengembalikan kejayaan Hang Tuah yang berbudaya bahari memang masih jauh, dibandingkan dengan waktu continentalisme Belanda sejak ratusan tahun lalu.
Namun, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (Kadiskanlut) Riau, Prof Dr Ir H Tengku Dahril MSc, tetap optimis masa depan Riau ada di laut. ‘’Ini sebuah kenyataan geografis yang tak bisa dielakkan. Sejarah Riau juga begitu dulunya,’’ katanya saat berbincang-bincang dengan wartawan Riau Pos, Menrizal Nurdin, Senin (12/5/2003) di Kantornya Jalan Pattimura, Pekanbaru.
Tentu semuanya tidak selesai hanya dengan komitmen, namun visi yang bersenjatakan program dari pemerintah ini juga harus ada. Akan banyak ‘’PR’’ dinas ini ke depan, di balik ‘’amis’’ masyarakat nelayan yang masih hidup miskin.
Apa yang dikatakan orang bahwa laut Riau sangat potensial, tak ditampik olehnya. Jika dilihat dari geografisnya, memang tidak dapat dipungkiri, karena Riau ini 71 persen wilayahnya laut. Jadi, lautnya betul-betul dua per tiga dari luas Riau. Oleh karena itu, jika Riau dikatakan masa depannya di laut, memang betul begitu. Hanya saja pemanfaatannya masih kurang optimal.
Disebutkan oleh Guru Besar Unri ini, potensi ril yang dapat lihat, yaitu ikan sebagai sumber makanan. Diperkirakan potensi Riau itu sebanyak 450 ribu ton per tahun. Kalau 10 dolar AS saja satu kilo gramnya, sangat banyak. Ada dua daerah potensi, yaitu Selat Melaka dan Laut Cina Selatan. Untuk Selat Melaka sudah over fishing (kelebihan tangkap), sementara Laut Cina Selatan prospeknya masih cerah, karena masih ada 650 ribu ton per tahun hasil perikanan di sana. Itu termasuk wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Jambi. Di Riau sendiri potensinya 350 ribu ton. ‘’Yang kita kelola baru 230-an ton. Artinya masih ada 100 ribu ton lagi,’’ katanya.
Besarnya potensi Laut Cina Selatan itu, diakui Tengku memang terjadi pencurian oleh nelayan asing. Sayangnya, izinnya dari pusat, karena di atas 12 mill dari pantai. ‘’Ke depan kita ingin mencoba bagaimana nelayan kita itu bisa menggantikan nelayan Thailand, misalnya,’’ katanya.
Salah satu upaya mencegah pencurian, pada 2002 kemarin, sejumlah nelayan dilatih menjadi mualim di kapal besar, yang bisa membawa kapal di atas 30 GT. Kemudian menangkap ikan dengan baik dengan alat tangkap pusine dan pukat. Menurut Tengku yang dilakukan itu termasuk program ekonomi kerakyatan, karena masih banyak masyarakat Riau mengantungkan hidup di laut. Sekarang saja ada 70 ribu kepala keluarga menggantungkan nasib di bidang perikanan. ‘’Jadi sekitar 8 persen hidup mengandalkan laut. Itu belum dihitung jumlah pelaut, nahkoda, dan orang bekerja pada transportasi air,’’ katanya.
Menurutnya, meskipun kejayaan laut tidak sehebat pada era nenek moyang, tapi sejarah tetap menjadi penyebabnya, yaitu perhatian pemerintah memang masih kurang terhadap laut sejak negeri ini merdeka. Barulah dua tahun ini diperhatian, dengan lahirnya Departemen Kelautan. Selama merdeka ini tidak ada menteri perikanan dan kelautan. Menurutnya, hal itu karena tak sengaja, tapi terlupakan. ‘’Karena tidak ada perhatian secara kelembagaan salama ini, jadi kesannya terlupakan. Sekarang ini kita mulai, dan sekarang pula baru orang memikirkannya,’’ katanya pula.
Dikatakan, walaupun agak terlambat, namun lebih baik dari tidak sama sekali. Lagi pula, lautlah yang melindungi negara ini. Ini terlihat dari sejarah. Misalnya saja Hang Tuah telah membuktikan bahwa kekuatan kita di laut. Termasuk juga kota-kota tua di nusantara ini semua kota-kota kerajaan di pinggir sungai dan laut, misalnya Siak, Pelalawan dan Lingga. Namun semua dirubah oleh Belanda yang meorientasikan bangsa kita ke darat. Barulah masa Gus Dur berani mengatakan masa depan bangsa kita ada di laut. ‘’Saya tetap optimis, bahkan negara timur tengah sudah memikirkan ke sana, seperti Kuwait. Mereka sekarang sudah mulai karena masa depan mereka laut,’’ katanya.
Kalau dilihat antara darat dan laut, bagaimana perbandingan potensi itu?
Masih tetap laut lebih unggul. Perikanan darat kita sekarang 14 ribu ton per tahun dan budidaya sekitar 26 ribu ton per tahun. Sementara 330 ribu ton potensi laut Riau. Jadi sekitar 15 persen itu dari perikanan darat.
Bagaimana dengan PAD bidang perikanan untuk Riau, karena laut Riau katanya potensial?
Sesuai dengan aturan pemerintah daerah, tidak diharuskan memungut retribusi. Jadi sejak tahun 1999 hingga 2003 kita dibebaskan dari retribusi. Tapi dengan adanya ketentuan baru, maka daerah diberikan kesempatan untuk memberlakukan retribusi. Kita membuat Perda tahun 2002 kemarin, retribusi hasil perikanan. Untuk alat tangkap termasuk dalam izin usaha dikelalo dinas provinsi. Sementara untuk pendaratan diambil oleh pemerintahan kabupaten dan kota karena itu tempat mereka.
Anda mengatakan untuk Selat Melaka kondisinya sudah ‘’over fishing’’, jadi kebijakan perikanan ini orientasi ke mana?
Yang jelas kita tetap ke laut. Karena laut potensi kita. Tapi laut juga punya limit, tidak bisa diproduksi secara terus-menerus, kalau sudah melampaui, maka sulit mengembalikannya. Maka antisipasinya adalah budidaya. Tapi dengan catatan, laut harus dijaga kelestariannya. Mengontrol dan mengatur supaya jangan terjadi over fishing. Jadi orientasi kita pada perairan pantai kita dan perikanan darat. Saya memperkirakan, nantinya kita akan mengembangkan perikanan budidaya, karena dengan teknologi budidaya bisa meningkatkan hasil dengan terukur, sementara untuk perikanan tangkap itu agak sulit karena sifatnya berburu.
Kita tahu Laut Cina Selatan itu potensinya besar, sementara Natuna baru beberapa tahun ini mulai diperhatikan pemerintah sejak otonomi. Tanggapan Anda?
Natuna dulu daerah terisolir, memang kita kembangkan sejak otonomi daerah. Dibanding Thailand kita memang jauh tertinggal, mereka ada pabrik kapal ikan yang besar di Laut Cina Selatan. Karena kebijakan pemrintahnya di bidang perikanan dan pertanian sudah sejak lama. Kalau kita pembangunannya tidak konsisten, misalnya dari era pertanian ke industi, kita melompat. Malah waktu itu perikanan tidak masuk.
Dana PEK tahun lalu, Karimun mendapatkan dana terbesar Begitu juga Natuna. Apa pertimbangan pemerintah soal ini?
Karimun Rp4 miliar lebih, karena masalah pasir laut. Sama dengan biaya kompensasi nelayan. 2002 itu Natuna, karena potensi yang besar di sana.
Apakah perhatian untuk Natuna itu terkait dengan berdirinya Provinsi Kepri?
Tidak. Semua kita kembangkan, seperti Inhil produksi perikanan pantai udang, Kampar dan Kuansing budidaya ikan air tawar, perikanan pantainya Dumai dan Bengkalis. Dan Natuna potensi laut. Memang Natuna potensial, wajar kita kembangkan kerena sudah lama terisolir. Kalau sudah resmi pisah, maka dihentikan. Tapi, 2003 masih tetap, karena belum ada hitam putihnya.
Jika kita mengacu pada undang-undang lahirnya Provinsi Kepri, artinya sudah mulai dipisahkan secara berangsur, dan jika sudah perpisah, maka potensi kita di kabupaten mana saja?
Yang potensial, yaitu di Rokan Hilir, sekitar 71 ribu ton potensinya. Inhil, Bengkalis, Dumai dan Pelalawan. Jadi ada 5 kabupaten lagi yang potensial.
Dari segi administrasi kewenangan, akhirnya potensi laut kita jadi terbatas karena lahirnya Provinsi Kepri. Sementara untuk laut Riau yang sedikut ini terus mendapat beban pembangunan dari darat, misalnya pencemaran. Tanggapan Anda?
Ini memang harus dicegah, caranya kita bekerja sama dengan Bapedalda, agar beban masyarakat pantai berkurang. Dengan mengurangi limbah, menjaga jangan hutan rusak, karena dia akan ke laut juga. Kurangi beban laut dengan mengurangi beban darat. Pabrik di sungai dikontrol jangan sampai membuang limbah melebihi daya dukung lingkungan.
Kita memang saat ini mengatakan potensi laut besar di Riau ini, tapi mengapa orang perikanan atau nelayan itu miskin?
Kemiskinan itu bermacam-macam. Ada kemiskinan struktur di mana kebijakan dibuat tidak berpihak pada rakyat. Rakyat kita itu tidak mempunyai akses terhadap permodalan. Kalau kita lihat di pantai, jalan raya tidak ada, listik tidak ada. Jadi infrastruktur itu terabaikan. Padahal mereka paling banyak. Ini juga karana tekstur tanah memang payah, rawa, air. Adalagi kemiskinan kultural. Jadi memang pelaut ini memiliki cita-cita berbeda dengan kita di darat. Orang pelaut ini kehidupannya keras dan berbeda prisip. Pergi sekali ke laut menangkap ikan kemudian istirahat. Mereka sulit mengatur keuangan. Kalau dapat banyak, habis. Ini kultur. Kemudian ada juga kemiskinan fungsional, dimana produktivitasnya masih rendah.
Sekarang ini ‘’image’’ masyarakat pantai kita (nelayan, red) yang ditonjolkan selalu negatif, misalnya kemiskinan dan sebagainya, apakah tidak ada nilai positif mereka sehingga bisa mengangkat semangat nelayan untuk lebih maju?
Nelayan itu tidak identik dengan kemiskinan. Namun umumnya mereka selama ini —karena kebijakan juga— nelayan terhimpit dengan modal. Tidak memiliki alat tangkap, lebih banyak bekerja sebagai buruh. Jadi yang kaya itu pemilik bukan pelaku. Sekarang kita ingin mengubah. Pemerintah membuat program untuk mereka misalnya Program Ekonomi Kerakyatan (PEK), mereka diberi kesempatan untuk memiliki modal sendiri. Begitu juga dengan masalah pemasaran hasil tangkap nelayan, kalau selama ini toke menjauh dari masyarakat, maka dijadikan sebagai patrner. Termasuk juga menciptakan alternatif lain, misalnya menembus pasar luar negeri untuk mereka.
Pemberdayaan masyarakat di pinggir pantai itu memang harus dilakukan. Bagaimana pemerintah misalnya juga membuat seperti proyek RAL, dimana kita punya perusahaan penangkapan yang dioperasikan di Laut Cina Selatan, dari pada petroli keamanan yang menghabiskan dana besar, sementara pencurian terus ada. Tanggapan Anda?
Itu yang sekarang kita kejar, ada sekitar 8 orang kita latih, kemudian kita pinjamkan dana. Kalau masalah perusahaan daerah itu, saya lebih condong jika ini bisa dilakukan masyarakat. Kalau pemerintah jadi pengusaha ini sudah repot, ini sebaiknya tugas swasta. Aktivitas penangkapan nelayan memang sudah ada, cuma kemapuannya saja terbatas. Kita pernah coba misalnya Karya Mina, itu juga tidak berhasil. Riau tidak pernah ada BUMN perikanan.
Kita tahu pemerintah provinsi mulai memperhatikan laut, namun laut juga masih kerap terjadi konflik seperti di Teluk Pambang, Bengkalis. Terjadi kekerasan hingga main bakar kapal. Tanggapan Anda?
Sebenarnya itu terjadi karena hukum tidak ditegakkan. Pemerintah sudah mengatur itu, ada jalur-jalur penangkapan, yang namanya jalur satu itu 0-6, hanya boleh menggunakan alat tangkap rawai, jermal dan lainnya yang sifatnya statis. Kemudian ada jalur II, itu alat tangkap aktif, termasuk jaring batu. Jaring batu ini tidak boleh beroperasi di zona I. Namun saya dapat informasi jaring kurau masuk ke zona I, seharusnya tidak boleh, makanya konflik terjadi itu. Waktu ada pertemua di Bengkalis, saya sudah katakan, itu kembali ke aturan hukum, semua sudah ada.
Ada yang mengusulkan kalau jaring batu itu dicabut saja izinnya. Tanggapan Anda?
Tidak bisa, karena jaring batu itu, bukan alat tangkap yang dilarang. Tidak ada larangan, yang dilarang cuma trawl. Sementara untuk negara lain trawl saja tidak pernah dilarang. Itulah, orang kita ini suka melanggar peraturan. Di Thailand dan Cina sana, justru, rakyat itu sendiri yang mendirikan peraturan, mereka yang menjaga hukum. Jadi konflik jaring batu dan rawai itu sebenarnya berebut kepentingan SDA ikan kurau, padahal semua sudah diatur.
Katanya konflik Teluk Pambang ini bukan kali ini saja, malah sudah terjadi sejak tahun 70-an. Tanggapan Anda?
Ini kan masalah izin tadi. Seharusnya kalau jaring batu menangkap ikan dengan kapal di atas 10 GT, kita tegaskan tidak boleh mengangkap di daerah ini. Untuk mengatasinya, tahun ini kita letakkan pelampung tanda di jalur penangkapan itu. Selama ini kan tanda-tanda itu hanya garis imajiner saja. Sehingga nelayan itu tidak tahu yang mana 6 mill itu. Untuk kapal nelayan, kita beri warna, kalau perlu nanti kita beri nomor seperti plat mobil. Biar tahu mereka menangkap sesuai dengan zona. Nah, itulah yang saya ingin yakinkan kepada nelayan-nelayan kita itu, baik di Teluk Pambang, maupun nelayan Rangsang itu. Kalau semua ditaati, tidak akan ada konflik.
Sebenarnya bukan saja berhadap nelayan menjalankan aturan, tapi pemerintah perlu juga melakukan pengawasan, tanggapan Anda?
Pemerintah kan mengatur, mungkin saja mereka tidak tahu aturan itu. Memang itu harus ada pengawas, karena peraturan bukan untuk dilanggar. Dinas ini tidak punya petugas, baru tahun ini mulai membuat, itupun kerja sama dengan angkatan laut.
Bagaimana wujud penguatan kelembagaan kelautan menyangkut masalah kewenangan untuk mengelola sumber daya di laut?
Setelah adanya departemen kelautan sekarang, misalnya masalah pasir laut diserahkan dari Departemen Pertambangan ke Departemen Kelautan. Ketua pengkaji kebijakan pasir itu kan menteri kelautan. Belum lagi kewenangan lain, termasuk harta karun juga termasuk kewenangan departemen kelautan. Makanya agar sejalan kita di dinas ini juga punya sub dinas kelautan.
Bagaimana dengan kewenangan pengelolaan terumbu karang yang sebelum departemen ini lahir di bawah KSDA, Kuhutanan?
Terumbu karang juga masuk dilindungi, makanya kita juga punya sub dinas untuk mengurus itu. Namun untuk terumbu karang ini saya tidak begitu pasti, karena tidak ada serah terima secara konkrit. Tapi terumbu karena juga termasuk masalah perikanan juga.
Kalau kita belajar dari sejarah berdirinya Departemen Kehutanan. 10 tahun sejak lahirnya departemen kehutanan, kenyataannya hutan kita rusak, apakah ini akan terjadi di laut dengan berdirinya departemen kelautan ini?
Mudah-mudahan tidak begitu, laut ini kita eksploitasi, tapi kita juga memikirkan keselamatananya, maka kita tidak berorientasi menangkap ikan terus-menerus, kita budidaya, kalau budidaya masih selamat. Prinsipnya kalau kita mengembangkan budidaya, itu sama dengan memperbaiki kondisi laut.
Jika pemerintah mulai sadar dengan masa depan laut, bagaimana dengan komitmen pembangunan yang dilakukan pemerintah kini?
Dengan adanya Dinas Perikanan dan Kelautan di provinsi, tandanya kita mulai memperhatikan laut. Indikatornya begitu saja. Sekarang bagaimana anggaran membangun infrastruktur di pinggir laut. Masih banyak daerah yang hanya bisa dituju melalui air, sekarang kita sudah mulai untuk membangun jalan itu. Bahkan master plan sudah memasukkan pengembang pembangunan dengan pendekatan daerah aliran sungai, saya pikir itu sudah sesuai dengan yang kita pikirkan.
Apa langkah Anda ke depan agar kelautan dan perikanan ini berkembang sesuai dengan perkembangan generasi?
Kita promosikan orang makan ikan. Agar masyarakat kita ini tiap pagi makan ikan, paling kurang 25 kilo pertahun. Orang Jepang saja konsumsi ikannya per orang 100 kilo gram setahun. Kita kerja sama dengan Diknas supaya program makanan tambahan anak SD bahannya ikan. Dan banyak program lain yang akan kita lakukan.***

Wawancara dan Liputan

Manajemen Cabai
‘’Aku lebih takut dengan kenaikan cabai dan beras dari pada bicara kenaikan harga BBM, Son —panggilan untuk teman saya yang bernama Sonhaji yang kini tinggal di Bogor—’’. Belum cukup sehari, dia telah membalasnya.

Ternyata Sonhaji penasaran dengan pernyataan itu.Mungkin dia teringat masa lalu kami di Bogor dulu. Meski setiap kami berkesempatan makan bersama di warteg, lalapan dan sambal tidak pernah dia lupakan.

Tapi saya tegaskan ke dia,’’Son, ini bukan cerita enaknya makan di warteg sebelah kos-kosan kita itu’’.Tapi ‘’sakitnya’’ hati ketika saya dan mungkin sebagian besar ibu-ibu di Kota Bertuah ini, berkeluh-kesah karena harga cabai tiba-tiba bisa naik 300 persen.

Dalam mengupas masalah ini, terpaksa saya harus membandingkan Bogor dan Pekanbaru. Meski lalapan menjadi menu wajib warga Bogor, rasanya saya tidak pernah mendengar harga selada turun naik seperti cabai di Pekanbaru. Sama seperti yang dia tulis di emailnya, bahwa sejak saya meninggalkan kota hujan itu sampai sekarang harga lalapan di Bogor tak pernah turun naik secara drastis.

‘’Setiap hujan, longsor dan jalan Riau-Sumbar putus, harga lada tidak bisa direm. Malambung tinggi. Tidak ada yang bisa mencegahnya. Dan selalu begitu,’’ saya balas emailnya.

Walaupun dia melengkapi argumen prinsip ekonomi pasar yang diingat-ingatnya ketika menerima materi kuliah dari dosen ekonomi di tingkat satu, bahwa sesuatu barang dan apa saja —tentu juga termasuk cabai dan lalapan— akan naik harganya, bila permintaan tinggi.Mungkin ini pengecualian bagi lalap di Bogor. Sebab, bukan hanya dia yang menyukai lalapan, mungkin hampir semua orang Bogor menyukai.

Tapi mengapa harganya tidak pernah naik drastis. Sementara harga cabai di Pekanbaru lain?Sedikit lumayan beras. Ketika harganya naik, masih ada yang peduli —misalnya pemerintah melakukan operasi pasar—, maklum saja, beras bisa menjadi isu politik yang menakutkan.

‘’Aku pernah mendengarkan pernyataan dari Senayan, ada politik beras. Tapi rasanya belum ada yang mengatakan politik cabai. Cabai hanya bikin pedas dan merahkan telinga, Son’’. Begitu saya mencoba menjelaskan agar dia paham betul bahwa masalah cabai sekarang sudah masuk pada tahap serius dan menyedihkan.Ketika terjadi gempa, banjir, asap dan bencana alam lainnya. Sering saya katakan ke dia, bahwa semua bisa diatasi. Paling tidak dengan perasaan dan mendengarkan suara hati kecil: Ini sudah tadir Allah, kita manusia hanya bisa menerimanya.

Tapi apakah ketika cabai naik drastis tak tentu waktu juga wajar berucap; sudah kehendak yang kuasa, kita terima saja?‘’Sebenarnya saya tidak mau mengungkap aib kota tempat kelahiran ku ini kepada mu, Son,’’ begitu saya balas emailnya, agar dia juga tahu bahwa bukan hanya lumpur, gempa, banjir dan kecelakaan kapal dan pesawat saja yang membuat rakyat nusantara ini semakin cemas dan berduka. Tapi, juga urusan cabai itu.Kamu kan tahu —seperti yang saya ceritakan beberapa waktu lalu— bahwa Riau sedang hangat-hangatnya menuntut otonomi khusus.

Lagi-lagi soal keadilan. Sebab, siapa yang menyangkal, apa saja ada di Riau ini. Mulai dari minyak bumi, sawit, karet dan segala kekayaan alam lainnya ada.Pokoknya kalau dikabulkan katanya Riau akan lebih banyak duitnya. Meskipun seperti yang saya ceritakan, sejak otonomi daerah digulirkan, duit Riau ini sudah semakin banyak jika dibandingkan Orba lalu.

‘’Aku ngerti, sekarang Riau tentu lebih kaya dan sejahtera,’’ tulis dia dalam email balasan.Tapi, dia tidak tahu, berapa harga wajar barang keperluan di Riau ini? Meskipun produk jadi berbahan baku minyak sawit yang nyata tumbuh jutaan hektare di sini. Tapi ada lagi yang menyedihkan. Nyatanya kekayaan negeri saya ini tidak bisa dibuat untuk menstabilkan harga beras dan cabai.***