Gagasan Hari Ini.......

Ribut-ribut masalah statemen Mendagri soal empat kabupaten kota di Riau terancam dibubarkan dan dua kabupaten dinilai pembangkang. Saat bersamaan, ada lagi nada nyaring dari pusat soal, revisi Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999. Sebuah isyarat nyata, bahwa pusat mulai berupaya untuk mengembalikan era, yaitu kembali ke era Orde Baru. Bukankah, buah manis reformasi itu adalah dua hal itu, yaitu otonomi daerah dan kebebasan pers? Jika ini kita biarkan, sangat besar harga yang harus dibayar. Energi, modal dan yang paling utama adalah masa, atau era. Sanggupkan kita menghadapi ini?

Friday, June 6, 2008

Minyak, ''Orang Minyak'' dan Budaya Teror

''Hii.... antara geli dan ngeri aku mendengarkan beberapa isu di tengah-tengah masyarakat Riau saat ini. Anehnya, ini terjadi bersamaan bersamaan dengan Presiden SBY memberi sinyal harga BBM akan naik, dan mejelang Pilgubri. Atau hanya kebetulan belaka,'' begitu isi e-mail mengawali cerita panjang saya dengan Son Haji, karib lama ketika sama-sama menuntut ilmu di IPB Bogor.

Saya yakinkan dia kembali --kebetulan Son Haji tidak pernah ke Bumi Lancang Kuning. Tahu soal Riau dari referensi, cerita yang mengalir dari e-mail kami-- bahwa Riau yang kaya minyak atas dan bawah itu, kini tidak seperti yang dia banyangkan.

Masyarakat di sini masih terpengaruh dengan isu-isu tak rasional, di saat masyarakat ini digiring untuk rasional dalam mengambil sikap, yaitu rasional dalam menilai kebijakan pemerin
tah untuk menaikkan harga BBM dan rasional pula dalam menentukan pilihan dalam Pemilihan Gubernur Riau secara langsung September mendatang.

Agaknya betul analisa yang disampaikan sohib ini pekan lalu, bahwa dalam pesta demokrasi dan ekonomi yang semakin menghimpit tidak jarang terjadi ketidakseimbangan di masyarakat. Contohnya, masyarakat memilih pemimpinnya karena panatisme pribadi, popular
itas. Tidak mengedepankan rasionalitas program, dan track record calon. Dan jika kalah, dan tak berdaya, sangat mudah terimbas budaya teror.

''Baru saja pemerintah mengumumkan akan menaikkan harga BBM, ada saja orang mengambil kesempatan untuk menaikkan harga, menimbun dan lainnya. Semua itu muncul karena rasa takut telah meneror masyarakat,'' kata Son Haji dalam balasan e-mailnya.

Agaknya, senada dengan dosen kami di IPB, pak Didin S Damanhuri. Dikatakannya, jika masyarakat masih bereaksi dengan isu tak rasional, mengindikasikan masyarakat belum seimbang. Atau masih ada yang kurang dalam komunitas itu.

Padahal, beberapa bulan lalu saya katakan kepadanya, jika harga minyak dunia naik hingga melebihi 100 dolar AS per barel, daerah ini yang paling enak, karena keuntungan dari produksi
minyak akan berlipat ganda. Artinya, ketika itu juga orang-orang Riau ini bisa menyembangkan senyum. Tapi, entau logika siapa yang salah, asumsi sederhana itu tidak berlaku.

''Ah, Son ternyata di sini sama saja dengan di Bogor dan Jakarta tempat tiap hari kami melangkah. Semua ini berawal dari masalah minyak, kan?'' kata saya untuk menganulir kembali pikirannya tentang Riau yang makmur ini.

Okelah, soal minyak memang tidak pernah tuntas saya bahas dengan karib ini. Tapi, seperti awal kutipan kalimat di atas, sama dengan isu ''orang minyak'' yang pernah berkembang saat saya menghabiskan masa kecil di Tanjungbalai Karimun, Kepri. Kini muncul lagi dalam bentuk yang mirip.

''Son, kamu harus camkan, orang minyak yang kumaksud bukan seperti cerita sinetron itu, yang menggambarkan orang kaya, tapi bisa dibilang musuh masyarakat, tukang teror dan sosok yang menakutkan. Ingat itu ya, supaya diskusi kita ini jelas,'' kata saya memberi pengertian.

Meski hingga sudah besar, tidak pernah berjumpa dengan ''orang minyak'', namun ketika itu, saya merasakan ''orang minyak'' cukup menakutkan, kerjanya membunuh orang, merampok dan menebar teror serta kegiatan negatif lainnya.

Umumnya, kata orang tua-tua dulu, isu itu dibuat untuk menakuti anak-anak supaya tidak keluar bermain saat Magrib dan malam tiba, atau agar anak-anak tidak degil.

Mirip, kini penyakit psikologis menimpa warga. Pekan ini warga di sini diresahkan dengan isu SMS Maut, SMS Merah atau SMS Santet. Ada satu lagi, isu kunci jawaban Ujian Naional juga sudah menjadi teror yang berserakan di WC sekolah.

Lalu kalau begitu kenyataannya, mempercayai isu itu, senang melihat orang cemas, ikut-ikut pula mengambil keuntungan dari kisruh harga BBM akan dinaikkan, menjelek-jelekkan calon lain agar tak dipilih dan yang sengaja menciptakan teror, bisa diindikasikan sebagai ''orang minyak''. Atau kita semua dianggap masih anak kecil. Maukah kamu dikatakan sebagai ''Orang Minyak'', Son?***

menrizal-nurdin@riaupos.co.id
menrizal2004@yahoo.com

Wawancara dan Liputan

Manajemen Cabai
‘’Aku lebih takut dengan kenaikan cabai dan beras dari pada bicara kenaikan harga BBM, Son —panggilan untuk teman saya yang bernama Sonhaji yang kini tinggal di Bogor—’’. Belum cukup sehari, dia telah membalasnya.

Ternyata Sonhaji penasaran dengan pernyataan itu.Mungkin dia teringat masa lalu kami di Bogor dulu. Meski setiap kami berkesempatan makan bersama di warteg, lalapan dan sambal tidak pernah dia lupakan.

Tapi saya tegaskan ke dia,’’Son, ini bukan cerita enaknya makan di warteg sebelah kos-kosan kita itu’’.Tapi ‘’sakitnya’’ hati ketika saya dan mungkin sebagian besar ibu-ibu di Kota Bertuah ini, berkeluh-kesah karena harga cabai tiba-tiba bisa naik 300 persen.

Dalam mengupas masalah ini, terpaksa saya harus membandingkan Bogor dan Pekanbaru. Meski lalapan menjadi menu wajib warga Bogor, rasanya saya tidak pernah mendengar harga selada turun naik seperti cabai di Pekanbaru. Sama seperti yang dia tulis di emailnya, bahwa sejak saya meninggalkan kota hujan itu sampai sekarang harga lalapan di Bogor tak pernah turun naik secara drastis.

‘’Setiap hujan, longsor dan jalan Riau-Sumbar putus, harga lada tidak bisa direm. Malambung tinggi. Tidak ada yang bisa mencegahnya. Dan selalu begitu,’’ saya balas emailnya.

Walaupun dia melengkapi argumen prinsip ekonomi pasar yang diingat-ingatnya ketika menerima materi kuliah dari dosen ekonomi di tingkat satu, bahwa sesuatu barang dan apa saja —tentu juga termasuk cabai dan lalapan— akan naik harganya, bila permintaan tinggi.Mungkin ini pengecualian bagi lalap di Bogor. Sebab, bukan hanya dia yang menyukai lalapan, mungkin hampir semua orang Bogor menyukai.

Tapi mengapa harganya tidak pernah naik drastis. Sementara harga cabai di Pekanbaru lain?Sedikit lumayan beras. Ketika harganya naik, masih ada yang peduli —misalnya pemerintah melakukan operasi pasar—, maklum saja, beras bisa menjadi isu politik yang menakutkan.

‘’Aku pernah mendengarkan pernyataan dari Senayan, ada politik beras. Tapi rasanya belum ada yang mengatakan politik cabai. Cabai hanya bikin pedas dan merahkan telinga, Son’’. Begitu saya mencoba menjelaskan agar dia paham betul bahwa masalah cabai sekarang sudah masuk pada tahap serius dan menyedihkan.Ketika terjadi gempa, banjir, asap dan bencana alam lainnya. Sering saya katakan ke dia, bahwa semua bisa diatasi. Paling tidak dengan perasaan dan mendengarkan suara hati kecil: Ini sudah tadir Allah, kita manusia hanya bisa menerimanya.

Tapi apakah ketika cabai naik drastis tak tentu waktu juga wajar berucap; sudah kehendak yang kuasa, kita terima saja?‘’Sebenarnya saya tidak mau mengungkap aib kota tempat kelahiran ku ini kepada mu, Son,’’ begitu saya balas emailnya, agar dia juga tahu bahwa bukan hanya lumpur, gempa, banjir dan kecelakaan kapal dan pesawat saja yang membuat rakyat nusantara ini semakin cemas dan berduka. Tapi, juga urusan cabai itu.Kamu kan tahu —seperti yang saya ceritakan beberapa waktu lalu— bahwa Riau sedang hangat-hangatnya menuntut otonomi khusus.

Lagi-lagi soal keadilan. Sebab, siapa yang menyangkal, apa saja ada di Riau ini. Mulai dari minyak bumi, sawit, karet dan segala kekayaan alam lainnya ada.Pokoknya kalau dikabulkan katanya Riau akan lebih banyak duitnya. Meskipun seperti yang saya ceritakan, sejak otonomi daerah digulirkan, duit Riau ini sudah semakin banyak jika dibandingkan Orba lalu.

‘’Aku ngerti, sekarang Riau tentu lebih kaya dan sejahtera,’’ tulis dia dalam email balasan.Tapi, dia tidak tahu, berapa harga wajar barang keperluan di Riau ini? Meskipun produk jadi berbahan baku minyak sawit yang nyata tumbuh jutaan hektare di sini. Tapi ada lagi yang menyedihkan. Nyatanya kekayaan negeri saya ini tidak bisa dibuat untuk menstabilkan harga beras dan cabai.***