Gagasan Hari Ini.......

Ribut-ribut masalah statemen Mendagri soal empat kabupaten kota di Riau terancam dibubarkan dan dua kabupaten dinilai pembangkang. Saat bersamaan, ada lagi nada nyaring dari pusat soal, revisi Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999. Sebuah isyarat nyata, bahwa pusat mulai berupaya untuk mengembalikan era, yaitu kembali ke era Orde Baru. Bukankah, buah manis reformasi itu adalah dua hal itu, yaitu otonomi daerah dan kebebasan pers? Jika ini kita biarkan, sangat besar harga yang harus dibayar. Energi, modal dan yang paling utama adalah masa, atau era. Sanggupkan kita menghadapi ini?

Friday, June 6, 2008

Ocehan Tukang Pangkas
Ini komunikasi pertama kami di awal Tahun Baru Islam 1429 Hijriah. ''Son, di tahun baru ini patut ada perenungan baru dengan tetap mengingat sejarah,'' begitu kalimat awal email yang saya kirin kepada Sonhaji, teman lama yang kini tinggal di Bogor.
     ''Tapi kamu jangan lupa ocehan tukan pangkas di pinggir Kebun Raya Bogor itu. Spontan, tanpa beban, bahkan sedikit bernada kasar. Tapi, dia dipercaya semua orang''.
Ah, kali ini saya ingin bercerita panjang kepadanya. Seperti biasa kembali membandingkan Riau dengan tanah Jawa. Pekan-pekan ini di Pekanbaru masih hangat-hangatnya membicarakan, helikopter Twinpac milik TNI AU yang jatuh di Desa Lubuk Ogung, Kecamatan Bandar Seikijang, Kabupaten Pelalawan.
     Satu konglomerat dari Singapura ikut jadi korban tewas yaitu, Robert V Chandran yang ternyata warga sipil. Orang pun ribut, berbagai asumsi bermunculan. Kemarin, awak-awak redaksi tiba-tiba ramai-ramai mendekati televisi di salah satu pojok ruangan kantor, karena mendapat isu bahwa mantan presiden Soeharto sudah meninggal. Padahal masih dalam keadaan kritis.
     Satu lagi yang saya perlu tuliskan ke dia, para cendekiawan Muslim yang tergabung dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) sedang berkumpul di Pekanbaru sedang membicarakan Demokrasi dan Kesejahteraan Rakyat.
      Rupanya ajang demokrasi yang akan menghangat tahun depan, 2009 perlu dicermati, agar demokrasi ini menuju kesejahteraan rakyat. ''Son, tentu aku dan daerahku dulu yang bisa disejahterakan, karena tahun ini juga kami akan pesta demokrasi, memilih Gubernur baru,'' ucap saya di pertengah kalimat.
     Saya tanyakan kepadanya, apakah dia di sana masih disibukkan dengan musibah lingkungan, seperti banjir dan tanah longsor. Peristiwa di Di Tawangmangu, Kabupaten Karang Anyar memang memilukan, satu kampung tenggelam oleh tanah. Dan yang menyedihkan tidak pula bisa cepat mengevakuasi korban.
      Kita, di seluruh Indonesia melihat sendiri, betapa tidak berdayanya manusia. Walaupun memiliki semuanya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Belum lagi beberapa hari lalu, angin puting beliung terjadi di beberapa kota di Jawa. ''Aku yakin Son, kamu pasti merasakan perihnya,'' karena hampir setiap koran langganannya menulis dengan bahasa mendayu dan layar televisi langsung memperlihatkan kondisi musibah jam per jam.
    Saya tegaskan kembali padanya, tentu dia bertanya, apa yang terjadi dengan bangsa ini. Bukankah kita sudah masuk tahun baru 2008, dan Tahun Baru Islam 1429 Hijriah. Ternyata, terlalau banyak derita yang kita hadapi. ''Son, kalau aku dan kamu yang memberi komentar pada semua ini, tentu dinilai macam-macam.
     Dibilang punya kepentingan ini dan itu. Tapi bagaimana dengan komentar tukang pangkas itu? Kamu masih ingat kan?'' kata saya kepada teman satu bangku kuliah ini.
Apa yang perlu kita ragukan lagi, komentar bernas yang keluar dari ocehan, ketika tangan dan matanya bekerja dengan sempurna melihat susunan rambut yang berwarna hitam. ''Son, tukan pangkas itu menilai dunia dan masyarakat dengan nurani, spontan dan tanpa beban, tanpa punya kepentingan baik pribadi maupun kelompok''.
     Tapi apa daya, apakah petinggi di negeri ini mau mendengarkan ocehannya. Walau sudah banyak pihak mengatakan demokrasi di negeri kita ini berjalan dengan baik. Tapi saya katakan kepadanya bahwa kupasan canggih yang bakal dilahirkan dari Silaknas ICMI di Pekanbaru, tentang bagaimana peran tiga komponen bangsa, pemerintah, ormas dan lembaga bisnis dalam memaknai demokrasi agar bermanfaat untuk menyejahterakan rakyat, belum tentu digubris.
      ''Aku ragu Son, bangsa ini sudah terlalu sombong untuk mau mendengarkan semua. Yang besar dan pakar lewat, apalagi saudara kita si tukang pangkas itu. Tentu tidak termasuk hitungan''. Tapi apakah bangsa kita ini sudah kehabisan energi hanya untuk menghadapi musibah ini dan itu? ''Ku tunggu jawabanmu, Son''.***

menrizalnurdin@riapos.co.id
menrizal2004@yahoo.com


Wawancara dan Liputan

Manajemen Cabai
‘’Aku lebih takut dengan kenaikan cabai dan beras dari pada bicara kenaikan harga BBM, Son —panggilan untuk teman saya yang bernama Sonhaji yang kini tinggal di Bogor—’’. Belum cukup sehari, dia telah membalasnya.

Ternyata Sonhaji penasaran dengan pernyataan itu.Mungkin dia teringat masa lalu kami di Bogor dulu. Meski setiap kami berkesempatan makan bersama di warteg, lalapan dan sambal tidak pernah dia lupakan.

Tapi saya tegaskan ke dia,’’Son, ini bukan cerita enaknya makan di warteg sebelah kos-kosan kita itu’’.Tapi ‘’sakitnya’’ hati ketika saya dan mungkin sebagian besar ibu-ibu di Kota Bertuah ini, berkeluh-kesah karena harga cabai tiba-tiba bisa naik 300 persen.

Dalam mengupas masalah ini, terpaksa saya harus membandingkan Bogor dan Pekanbaru. Meski lalapan menjadi menu wajib warga Bogor, rasanya saya tidak pernah mendengar harga selada turun naik seperti cabai di Pekanbaru. Sama seperti yang dia tulis di emailnya, bahwa sejak saya meninggalkan kota hujan itu sampai sekarang harga lalapan di Bogor tak pernah turun naik secara drastis.

‘’Setiap hujan, longsor dan jalan Riau-Sumbar putus, harga lada tidak bisa direm. Malambung tinggi. Tidak ada yang bisa mencegahnya. Dan selalu begitu,’’ saya balas emailnya.

Walaupun dia melengkapi argumen prinsip ekonomi pasar yang diingat-ingatnya ketika menerima materi kuliah dari dosen ekonomi di tingkat satu, bahwa sesuatu barang dan apa saja —tentu juga termasuk cabai dan lalapan— akan naik harganya, bila permintaan tinggi.Mungkin ini pengecualian bagi lalap di Bogor. Sebab, bukan hanya dia yang menyukai lalapan, mungkin hampir semua orang Bogor menyukai.

Tapi mengapa harganya tidak pernah naik drastis. Sementara harga cabai di Pekanbaru lain?Sedikit lumayan beras. Ketika harganya naik, masih ada yang peduli —misalnya pemerintah melakukan operasi pasar—, maklum saja, beras bisa menjadi isu politik yang menakutkan.

‘’Aku pernah mendengarkan pernyataan dari Senayan, ada politik beras. Tapi rasanya belum ada yang mengatakan politik cabai. Cabai hanya bikin pedas dan merahkan telinga, Son’’. Begitu saya mencoba menjelaskan agar dia paham betul bahwa masalah cabai sekarang sudah masuk pada tahap serius dan menyedihkan.Ketika terjadi gempa, banjir, asap dan bencana alam lainnya. Sering saya katakan ke dia, bahwa semua bisa diatasi. Paling tidak dengan perasaan dan mendengarkan suara hati kecil: Ini sudah tadir Allah, kita manusia hanya bisa menerimanya.

Tapi apakah ketika cabai naik drastis tak tentu waktu juga wajar berucap; sudah kehendak yang kuasa, kita terima saja?‘’Sebenarnya saya tidak mau mengungkap aib kota tempat kelahiran ku ini kepada mu, Son,’’ begitu saya balas emailnya, agar dia juga tahu bahwa bukan hanya lumpur, gempa, banjir dan kecelakaan kapal dan pesawat saja yang membuat rakyat nusantara ini semakin cemas dan berduka. Tapi, juga urusan cabai itu.Kamu kan tahu —seperti yang saya ceritakan beberapa waktu lalu— bahwa Riau sedang hangat-hangatnya menuntut otonomi khusus.

Lagi-lagi soal keadilan. Sebab, siapa yang menyangkal, apa saja ada di Riau ini. Mulai dari minyak bumi, sawit, karet dan segala kekayaan alam lainnya ada.Pokoknya kalau dikabulkan katanya Riau akan lebih banyak duitnya. Meskipun seperti yang saya ceritakan, sejak otonomi daerah digulirkan, duit Riau ini sudah semakin banyak jika dibandingkan Orba lalu.

‘’Aku ngerti, sekarang Riau tentu lebih kaya dan sejahtera,’’ tulis dia dalam email balasan.Tapi, dia tidak tahu, berapa harga wajar barang keperluan di Riau ini? Meskipun produk jadi berbahan baku minyak sawit yang nyata tumbuh jutaan hektare di sini. Tapi ada lagi yang menyedihkan. Nyatanya kekayaan negeri saya ini tidak bisa dibuat untuk menstabilkan harga beras dan cabai.***