Gagasan Hari Ini.......

Ribut-ribut masalah statemen Mendagri soal empat kabupaten kota di Riau terancam dibubarkan dan dua kabupaten dinilai pembangkang. Saat bersamaan, ada lagi nada nyaring dari pusat soal, revisi Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999. Sebuah isyarat nyata, bahwa pusat mulai berupaya untuk mengembalikan era, yaitu kembali ke era Orde Baru. Bukankah, buah manis reformasi itu adalah dua hal itu, yaitu otonomi daerah dan kebebasan pers? Jika ini kita biarkan, sangat besar harga yang harus dibayar. Energi, modal dan yang paling utama adalah masa, atau era. Sanggupkan kita menghadapi ini?

Monday, January 26, 2009

Wawancara dan Liputan

Manajemen Cabai
‘’Aku lebih takut dengan kenaikan cabai dan beras dari pada bicara kenaikan harga BBM, Son —panggilan untuk teman saya yang bernama Sonhaji yang kini tinggal di Bogor—’’. Belum cukup sehari, dia telah membalasnya.

Ternyata Sonhaji penasaran dengan pernyataan itu.Mungkin dia teringat masa lalu kami di Bogor dulu. Meski setiap kami berkesempatan makan bersama di warteg, lalapan dan sambal tidak pernah dia lupakan.

Tapi saya tegaskan ke dia,’’Son, ini bukan cerita enaknya makan di warteg sebelah kos-kosan kita itu’’.Tapi ‘’sakitnya’’ hati ketika saya dan mungkin sebagian besar ibu-ibu di Kota Bertuah ini, berkeluh-kesah karena harga cabai tiba-tiba bisa naik 300 persen.

Dalam mengupas masalah ini, terpaksa saya harus membandingkan Bogor dan Pekanbaru. Meski lalapan menjadi menu wajib warga Bogor, rasanya saya tidak pernah mendengar harga selada turun naik seperti cabai di Pekanbaru. Sama seperti yang dia tulis di emailnya, bahwa sejak saya meninggalkan kota hujan itu sampai sekarang harga lalapan di Bogor tak pernah turun naik secara drastis.

‘’Setiap hujan, longsor dan jalan Riau-Sumbar putus, harga lada tidak bisa direm. Malambung tinggi. Tidak ada yang bisa mencegahnya. Dan selalu begitu,’’ saya balas emailnya.

Walaupun dia melengkapi argumen prinsip ekonomi pasar yang diingat-ingatnya ketika menerima materi kuliah dari dosen ekonomi di tingkat satu, bahwa sesuatu barang dan apa saja —tentu juga termasuk cabai dan lalapan— akan naik harganya, bila permintaan tinggi.Mungkin ini pengecualian bagi lalap di Bogor. Sebab, bukan hanya dia yang menyukai lalapan, mungkin hampir semua orang Bogor menyukai.

Tapi mengapa harganya tidak pernah naik drastis. Sementara harga cabai di Pekanbaru lain?Sedikit lumayan beras. Ketika harganya naik, masih ada yang peduli —misalnya pemerintah melakukan operasi pasar—, maklum saja, beras bisa menjadi isu politik yang menakutkan.

‘’Aku pernah mendengarkan pernyataan dari Senayan, ada politik beras. Tapi rasanya belum ada yang mengatakan politik cabai. Cabai hanya bikin pedas dan merahkan telinga, Son’’. Begitu saya mencoba menjelaskan agar dia paham betul bahwa masalah cabai sekarang sudah masuk pada tahap serius dan menyedihkan.Ketika terjadi gempa, banjir, asap dan bencana alam lainnya. Sering saya katakan ke dia, bahwa semua bisa diatasi. Paling tidak dengan perasaan dan mendengarkan suara hati kecil: Ini sudah tadir Allah, kita manusia hanya bisa menerimanya.

Tapi apakah ketika cabai naik drastis tak tentu waktu juga wajar berucap; sudah kehendak yang kuasa, kita terima saja?‘’Sebenarnya saya tidak mau mengungkap aib kota tempat kelahiran ku ini kepada mu, Son,’’ begitu saya balas emailnya, agar dia juga tahu bahwa bukan hanya lumpur, gempa, banjir dan kecelakaan kapal dan pesawat saja yang membuat rakyat nusantara ini semakin cemas dan berduka. Tapi, juga urusan cabai itu.Kamu kan tahu —seperti yang saya ceritakan beberapa waktu lalu— bahwa Riau sedang hangat-hangatnya menuntut otonomi khusus.

Lagi-lagi soal keadilan. Sebab, siapa yang menyangkal, apa saja ada di Riau ini. Mulai dari minyak bumi, sawit, karet dan segala kekayaan alam lainnya ada.Pokoknya kalau dikabulkan katanya Riau akan lebih banyak duitnya. Meskipun seperti yang saya ceritakan, sejak otonomi daerah digulirkan, duit Riau ini sudah semakin banyak jika dibandingkan Orba lalu.

‘’Aku ngerti, sekarang Riau tentu lebih kaya dan sejahtera,’’ tulis dia dalam email balasan.Tapi, dia tidak tahu, berapa harga wajar barang keperluan di Riau ini? Meskipun produk jadi berbahan baku minyak sawit yang nyata tumbuh jutaan hektare di sini. Tapi ada lagi yang menyedihkan. Nyatanya kekayaan negeri saya ini tidak bisa dibuat untuk menstabilkan harga beras dan cabai.***